SAJAK HARI PERTAMA HINGGA KE EMPAT
Sebermula adalah sunyi. Demikian ia mulai. Lalu mendidih dalam kobaran. Memutus tali-tali. Melepas tekanan demi tekanan. Dan melesat ke udara tanpa tujuan. Tanda tujuan? Nah, itulah kamu. Mudah terjebak dan kalah. Tapi merasa gagah dan menang. Tak ada ambang di belahan pinang. Mukamu satu. Dengan cahaya tak tertipu
Dengan sekejap hutan menelanku. Akar-akar melilit dalam kerimbunan. Sekawanan burung menyelusup di celah daunan. Tak ada cemas tak ada takut. Tak seorang pun perampog. Tak seorang pun pembunuh. Tak sebilah pun belati. Tak seujung pun senapan. Binatang tak perlu kesopanan. Dan sedikit saja peraturan. Tak ada keributan dan huru-hara
Lihatlah ! ini hari pertama kita berjumpa. Matahari tepat di atas kepala. Beri teka-teki dan kaili ikannya. Inilah rahasia menelan hutan raya
Aku tak mengerti. Aku tak perduli. Untuk apa menguras tenaga. Jalanku masih lama. Bukankah bahasa mana pun sama? Bahasa untuk manusia. Tidak bagi hewan. Bagi hutan juga. Daun-daun punya caranya sendiri. Seperti madu bagi lebah. Atau bunga menjadi buah. Kupikir sama saja. Gendang dipukul. Lalu nyaring bunyinya. Kadang sebagai duta. Atau bunga api yang melesat ke langit. Hingga tiba-tiba apa saja jadi belati. Atau peluru
Itu sih terlalu biasa. Matahari melukis baying di semak. Pohon-pohon besar tak berbuah. Manusia mendahului nasibnya. Tertlalu suntuk dengan gagasan. Jiwa membusuk tak terpellihara. Jangan iri pada bulan yang jatuh di penanggalan.ini hari kedua kita berjumpa. Beri teka-teki dan kaili ikannya. Bukankah dulu kita pernah demikian bugil dan itu kesopanan?
Sialan ! serentak aku ingin mengutuk. Tapi siapa mau peduli kutuk? Pohon-pohon terlalu superior. Rumput tak bertumbuh di keteduhan. Tabiat hutan. Yang meskipun ingin kita jauhi.melebat juga di hati dan fikiran. Seperti kucing yang diam-diam rindu mencuri. Seperti babi yang lebih nyaman tidur di lumpur. Hutan yang makin ingin kita pungkiri. Makin pula terasa dekat di hati
Ha…, ini luar biasa. Kata sebuah suara.cucilah muka dan gosoklah gigi. Agar tak kabur pandanganmu. Dan tak bau bangkai mulutmu. Ingat ! ini hari ke tiga kita berjumpa. Berilah teka-teki dan kaili ikannya. Hutan semakin mengepungmu. Jangan lagi hanya soal bahasa. Hutan tak perlu kata-kata
Selembar daun tiba-tiba melayang dan jatuh tepat di bawah kakiku. Aku menatap ke langit. Tapi hutan hanya memberiku sepicing dari selobang kecil pemandangan
Hai hai hai ! ini soal cuci muka dan gosok gigi. Melulu soal mandi dan kebiasaan bersih diri. Langit tak pernah bias dipersempit. Sampai kau akan lelah dan berhenti memikirkannya
Hutan mengirim kesuburan dan kesejahteraan. Hutan mengirim laknat dan kebinasaan. Ingat tikus? Betapapun ia adalah binatang yang rajin. Ia bikin istananya di hutan-hutan yang kaya. Beranak-pinak dan besar sekali populasinya. Bersama habitet membangun sebuah kerajaan yang aman dan damai. Tapi jangan lupa ! inilah hari ke empat kita berjumpa. Hutan tak lagi apa-apa. Kekayaan itu telah dirampog. Hutan tak lagi kerajaan yang aman. Siap sedialah untuk segala air mata
Dan jadilah laki-laki. Kenangkan suara lembut ibumu. Matahari akan tetap tersenyum. Kapan pun engkau bangun
SAJAK HARI KE LIMA HINGGA KE ENAM
Ketika di mataku tiba-tiba hadir sebuah pagi yang berembun coklat. Segera kuduga barat adalah timur dan selatan adalah utara. Pada hal seandainya mata angina dapat dipejam sedetik saja. Pasti Colombus dan yang lain dapat dimintai kesaksian berdasar pertanyaan: Kalian pergi atau pulang? Tapi itu pun sia-sia. Bagai mengejar embun. Meraba angina atau menggenggam air. Kembali mataku berbenturan satu sama lain: Runtuhnya hutan-hutan kesuburan dan merebaknya hutan-hutan keruntuhan
Seekor bangau menyulut mimpi di atas ketinggian sebelah kaki. Camar kecil duduk termangui menunggu lapar. Inilah hari ke lima kita berjumpa. Beri teka-teki dan kaili ikannya. Apa di sini ada yang ingin bunuh diri ? minum sendiri laknatmu dan jangan minta sorga
Aku teringat tragedy selepas era firdousy. Angina itu berhembus dari sebuah pemberontakan. Dan apinya di sulut dari keinginan menjadi tuhan. Darah menjadi tanda-tanda. Menjadi ujung pena dan mata acara
Wah wah ! berdenting dalam kemilau anggur. Siapa mengejarmu? Beling beling tersebar di hutan raya. Sebagai sisa dari kaum yang terbunuh. Selama darahmu masih tersempan di botol itu. Selama kambing masih hitam di kepalamu. Terkutuklah pohon-pohon yang tak berbuah itu. Sampai akar-akarnya mongering dan tak tumbuh lagi
Stop ! ini hari ke enam kita berjumpa. Beri teka-teki dan kaili ikannya. Jenuh? Lihat, di rawa tumbuh bunga. Di bukit terbuka langit. Segumpal awan tersangkut di hutan. Apa kau akan bernyanyi? Nyanyikanlah kidungmu sendiri-sendiri. Sampai awan berhenti di atas gunung-gunungmu. Jadi hujan dan menyuburkan hutan-hutanmu
SAJAK HARI KE TUJUH
Seekor bangau duduk termenung. Di kepalanya terbayang duaratus dua puluh juta katak tertidur pulas dalam perutnya. Jangan cabut rumput dalam rumpun padimu. Angina akan menampinya sendiri. Rumput adalah rumput. Padi adalah padi. Api akan menguji semuanya. Hingga tak satu pun tersisa selain jatidiri
Inilah hari ke tujuh perjumpaan kita. Beri teka-teki dan kaili ikannya. Angina berpusar di setiap kepala. Mencabut setiap ingatan. Menghapus lukisan-lukisan. Terpasang rapi detector penguju kejujuran di setiap ujung jalan. Di kantor-kantor. Di pasar-pasar. Di sawah, di lading dan di tempat-tempat pemukiman. “ Maaf, ktp anda …….?!” Bersiaplah menjadi bola
Tiba-tiba aku merasa diriku berubah menjadi seekor kelinci di kelebatan hutan raya. Terlalu kecil untuk berfikir tentang takdir
Clering/Jepara , 30 Nopember 2010
Selasa, 30 November 2010
Langganan:
Postingan (Atom)