Senin, 07 Desember 2009

cerpen

DAUN-DAUN JAGUNG MENGELINTING

Siang itu matahari terasa tak beramah kepadanya. Caping keropak di kepalanya seakan-akan percuma saja dikenakannya. Kobaran hawa panas tetap saja membakarnya bulat-bulat. Sementara hembusan angin yang diharap akan dapat menyegarkannya, siang itu sungguh bagaikan dihalau setan entah ke mana. Tukijan, demikian lelaki itu, sungguh dibuatnya lunglai. Ayunan-ayunan cangkulnya telah kehabisan tenaga.
Untuk sementara waktu Tukijan masih berusaha bertahan. Diayun dan diayunkannya lagi cangkulnya seakan tak ingin begitu saja lekas menyerah. Akan tetapi daya sengat matahari bukannya semakin lemah. Semakin condhong ke derajad tiga puluhan, bara itu bahkan terasa semakin memanggang tubuh. Apa lagi karena memang, telah cukup lama Tukijan membanting tulang. Keringat telah tak terkatakan lagi. Ditambah laju usia yang telah meningkat di atas pertengahan abad. Sungguh bukan sesuatu yang dapat memberikan kepadanya banyak keuntungan. Dalam waktu yang tidak lama lagi segera Tukijan melihat kunang-kunang di matanya berloncatan seperti ribuan meteor di langit malam yang gelap gulita. Tukijan menyerah.
Tukijan menarik nafas panjang. Dicabutnya punggung membangkit. Sebuah hempasan berkeluh terdengar mendesah. Segera, sebelum kunang-kunang di matanya semakin mengaburkan pandangan, dengan lunglai Tukijan menyeret kakinya ngeloyor ke dangau.
Dangau itu sudah terlalu reyot. Tukijan prihatin belum sempat memperbaikinya. Sejak usai musim padi dua bulan lalu, mestinya gubug itu sudah seharusnya ditangani. Tetapi waktu untuk itu memang tidak ada. Mana ia harus lebih terpusat pada kebutuhan dapur istrinya yang sudah mulai miring. Maklum, hasil panen kemarin tak terlalu menggembirakan. Ditambah ada-ada saja kebutuhan mendadak yang tak bisa dielakkan. Hingga hasil jualnya pun segera ludes tak lebih sebulan kemudian. Itulah kenapa Tukijan harus pontang-panting ke sana kemari untuk mengusahakan kerja sambilan. Dan apa pula yang dapat dikerjakan selain menanti datang tawaran kerja upahan dan mencari kayu bakar untuk dijual? Di desanya yang terpencil itu memang tak terlalu banyak kerjaan bagi para buruh. Pada umumnya orang bekerja di sawah atau ladangnya sendiri-sendiri. Sesudah itu nyaris tak dijumpai lagi para buruh menemukan pekerjaannya.
Tukijan mengibas-kibaskan caping keropaknya untuk memperoleh kesegaran. Beberapa kancing baju dilepaskannya. Tampak sebidang dada yang ditumbuhi rambut-rambut kejantanan.
Setelah keringatnya menyusut, Tukijan meranggeh sebotol kopi yang ditaruhnya begitu saja di sudut pematang di bawah dangau. Ditenggaknya beberapa teguk. Ah, sesungguhnya betapa inginnya dia di saat seperti ini meminum air putih saja. Sayang, waktu berangkat tadi, hal itu terlupa. Ya. Air kendi pasti lebih dapat memuaskan dahaganya.
Tukijan kembali menutup botol kopinya. Tangannya menyentuh bungkusan ketela rebus yang dibekalkan istrinya. Segera Tukijan melahapnya habis tanpa sisa, selain tinggal serat-seratnya yang dibuang sembarang di sekitar duduknya. Hem, alangkah lezatnya terasa makanan yang meskipun begitu sederhananya.
Dari balik saku celana pendek kombornya, Tukijan mengeluarkan slepi tembako kedu-nya. Dilintingnya sebatang, lalu disulutnya. Sebentar lagi asap kental kebiruan mengepul dari mulut dan hidungnya. Pada sedotan kedua Tukijan menikmatinya dengan perasaan mendalam. Bersamaan dengan itu matanya yang berkaca-kaca menatap sehamparan jagung yang, kalau saja sekali dua kali sempat tersiram hujan, mestinya sudah mulai tumbuh bunga. Namun kemarau kali ini memang tak seperti biasanya. Hujan terasa demikian mahalnya. Hingga jagung-jagung itu pun kurang air dan terhambat pertumbuhannya. Daun-daunnya mengelinting menahan deru panas yang menyengatnya tiap hari. Hati Tukijan tercelup haru. Manakala dilihatnya daun-daun yang mengelinting itu, terbayang pula di sana hatinya yang mengelinting di tengah bara kehidupan getir yang dialaminya selama ini.
Tukijan menghela nafas panjang. Dicobanya untuk melupakan segenap beban yang kini terasa memberat. Namun justru di saat itulah mendadak muncul bayangan istrinya yang tengah mengadukan perihal keprihatinannya.
“ Jika ketela di belakang rumah itu sudah habis, Pak, apa kira-kira usaha yang dapat kita lakukan nanti?” kata Paimah, istrinya, tadi pagi, ketika kedua orang anaknya pergi ke sekolah dan yang seorang lagi sedang bermain di rumah tetangga.
Tukijan tidak segera menjawab pertanyaan istrinya. Ia hanya menurunkan sebelah kakinya yang tadi disilangkan ke atas salah satunya. Setelah melempar puntung yang pait itu, Tukijan mengangkat gelas kopi yang tinggal sesudut itu.
“ Jagung kita sudah bagaimana ya, Pak. Sudah putrenkah barangkali?” lanjut Paimah, sementara Tukijan sedang menyeruput sisa kopinya yang sudah terasa liat itu. “ Habiskan sekalian, Pak. Nanti biar kuseduhkan lagi untukmu. Kebetulan masih ada air panas yang sengaja kubiarkan di atas tungku”
Tukijan kembali pada posisi semula. Seolah tidak sedang tertarik pada pembicaraan istrinya. Matanya lurus terlempar jauh ke pekarangan depan rumah di mana banyak terdapat banyak tumbuhan meregang dalam deru kelayuan. Sementara Paimah bermain lidi di atas permukaan meja.
“ Nanti biar aku akan ambil kayu bakar untuk dijual, Mak” mendadak terdengar kata-kata Tukijan setelah beberapa saat terdiam bagai tak berniat omong. “ Masih ada berapa baris ketela itu?”tanyanya pula.
“ Tinggal beberapa baris lagi. Kan kemarin dibeli tetangga kita 8 baris? Mungkin tinggal cukup untuk beberapa hari lagi, Pak.”jawab Paimah apa adanya.
“ O ya, Mak. Apa pak guru Bono itu masih membutuhkan kayu bakar ya? Mestinya, ini kan waktunya membakar batu bata?”
Paimah menggeleng. “ Tapi cobalah, nanti saya akan menanyakannya ya?” katanya sembari bangkit mengambil gelas kopi untuk diganti yang baru.
“ Mak!” kata Tukijan memanggil istrinya yang berjalan menuju ke dapur. “ Aku akan ke sawah. Tolong sediakan bekal seadanya ya, Mak. Rasanya aku ingin segera melihat jagung-jagung kita. Akan kudangir jagung-jagung itu. Siapa tahu masih mampu hidup untuk memperpanjang nafas kita”.
Demikianlah hingga sekarang ini Tukijan sudah berada di antara jagung-jagungnya yang memprihatinkan itu. Daun-daunnya mengelinting, menandakan kehausan yang tiada tara. Sementara Tukijan masih terduduk dalam keletihannya yang belum juga surut.
Hem. Kembali Tukijan menghela nafas yang terasa agaks esak. Tampak di matanya jagung-jagung yang keletihan itu. Melintas juga bayangan wajah istri dan anak-anaknya yang meminta jawaban atas pernasibannya. Oh, Tuhan. Curahkanlah hujan-MU. Mendadak keluar kata-kata tersebut sebagai pelampiasan terakhir.
Tukijan berdiri dengan hati yang terbakar. Keprihatinannya yang mendalam telah membangkitkan semangat dan tenaga baru. Manakala disentuhnya daun-daun yang mengelinting itu, hatinya makin tersengat. Sungguh tak ada beda antara jagung-jagung itu dengan kebutuhan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan istrinya. Dalam fikiran dan perasaan demikian itulah Tukijan bagaikan terlupakan dari rasa letih dan panasnya terik mentari. Kembali diayunkannya cangkul dengan semangat dan tenaga baru. Jagung-jagung inilah harapannya.
Tak terasa matahari telah condong jauh melingsir ke barat mendekat ke tempat peraduan alam. Burung-burung berbondong ke selatan. Semilir angin memperlonggar pernafasan. Di saat seperti inilah Tukijan bagai tak menghirau keletihan. Ayunan cangkulnya semakin gencar melabuhi dera hidup dan perjuangan teka-teki. Sepenuh jiwa raga.
Sementara di luar perhatian Tukijan. Berjalan seorang wanita baya diiringi seorang bocah lima tahunan tengah menyusuri setapak pematang. Dalam jarak tertentu sang bocah mendahului langkah ibunya. Ia berlari dengan merentang-rentangkan tangan untuk mencapai keseimbangan tubuh. Bocah itu tampak mengharukan dengan wajah dekil dan celana pendek kombornya. Celana itu agaknya lebih pas dipakai anak seusia kelas enam sekolah dasar. Ya. Dan ia pun terus dan terus saja berlari. Arahnya pasti.
“ Ayah… Ayah ! Ayo kita pulang … hari sudah petang !” teriak si bocah begitu jaraknya telah dekat.
Berlari sambil berteriak-teriak, agaknya cukup merepotkan bagi anak kecil itu. Kelihatan betapa ia sering kehilangan keseimbangannya. Namun demikian ia terus dan terus saja berlari sambil berseru, “ Ayah.. Ayah. Ayo kita pulang, hari telah petang”
Mendengar seruan anaknya, Tukijan menghentikan ayunan cangkulnya. Ketika dilihatnya anak itu dalam bahaya, ia pun berteriak, “ Hai..!! Hati-hati larinya. Jangan berlari di pematang. Kamu bisa jatuh nanti “
Tetapi bocah itu telah terlanjur terguling dari pematang. Dan sang ayah hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala sembari menghela nafas.
Bocah itu tidak menangis. Segera ia berdiri kembali dan berlari lagi. Sementara Tukijan menantinta di dangau.
“ Aduh… aduh, aku jatuh “ katanya mengadu sambil meniup-tiup ke luka bekas terjatuh.
“ Makanya lain kali harus berhati-hati. Tidak mudah lari di pematang. Kita bisa jatuh kalau perhatian kita tidak penuh” kata sang ayah menasehati anaknya. Diusapnya sedikit darah di lutut anaknya.
“ Kok sampai lupa pulang ta, Pak. Ini kan sudah petang”, kata Paimah begitu sampai di dangau. Dikemasnya botol kopi dan peralatan lain yang terserak. “ Tadi aku ke rumah pak Bono, Pak” lanjutnya.
“ Oya? Lalu, apa kata beliau, Mak?”Tanya Tukijan.
“ Beliau perlu kayu bakar banyak, Pak. Sebenarnya beliau sudah merencanakan untuk menemuimu, tetapi belum ada waktu. Maka, ketika tiba-tiba saya datang, beliau merasa senang. Pak….”, Paimah mengambil sesuatu di lipatan selendang kumalnya. “ Ini, Pak. Pak bono telah memberikannya kepada kita uang ini.”kata Paimah sembari memberikan selembar ratusan ribu kepada suaminya.
“ Apa maksudnya, Mak? Apakah ini sebagai uang muka begitu? Dan, apakah Mak telah memintanya?” Tukijan agak masgul.
“ O, tidak, Pak. Mana saya berani meminta itu. Ini sungguh-sungguh kehendak pak Bono sendiri. Mungkin beliau paham keadaan kita. Tadi beliau memaksa saya agar mau menerima uang itu” jelas Paimah.
“ Baiklah, Mak. Sekarang marilah kita pulang dulu. Besok, ya mulai besok pagi. Aku akan mulai ambil kayu bakar di hutan dan sore harinya aku akan melanjutkan mendangir jagung-jagung kita yang kehausan ini”kata Tukijan sambil mulai berdiri, diikuti Paimah yang segera menaruh semua alat ke dalam angkring.
Tukijan mulai melangkah. Si bocah meminta cangkul ayahnya untuk dipikul dipundaknya. Sekali lagi Tukijan menatap jagung-jagungnya. Sepertinya terasa demikian perlu ia melakukan itu. Lalu melangkah meninggalkan haru yang menempel di daun-daun yang mengelinting itu.
Senja turun menebar temaram. Memulai sebuah perkisahan lain dalam warna dan persona baru. Langkah-langkah pun beranjak ke setapak, menjauh. Segera sepi jatuh melingkup di pesawahan kering. Sepi dan kering. ***



PRENTHUL – PRENTHUL SAWATARA

Paimo mati. Yen paimo mati, mesthine sapa wae pancen kudu bisa ngekhlasake. Jalaran yen ora ngono, arep mbudidaya sing kaya apa. Apa arep mbandhang tekan swarga kana lan nyuwun Gusti Allah supaya nyawane Paimo dibalekake maneh, rak ya mokal samokal-mokale ta iku?. Mula pancen bener sapa wae kudu bisa ngekhlasake nyawane paimo sing wis kebacut ucul saka ragane iku. Kalebu uga kasmirah sing sanadyan dheweke iku bojone paimo dhewe. Yoh, mesthine pancen kudu ngono. Ning nyatane ora ngono kanggone kasmirah pribadi. Arepo mokal dikaya ngapa, arepa dipaido lan digeguyu wong sejagad raya. Ora preduli, dheweke isih tetep kepengin bojone iku ora mati. Utawa paling ora (yen pancen ora kena nggetuni nemen nemen jalaran mokal bisa urip maneh), Kasmirah sepisan iki isih tetep kepengin nduweni kalodhangan kanggo nuduhake bab sepira gedhene rasa gelane magepokan karo patine bojone iku. Yoh! (Para maos yo ora entuk maido,wong iku yo hake kasmirah pribadi).
Sateruse. Yen kasmirah sajake pancen during bisa ngekhlasake tenan bab matine bojone, iku ngono jan-jane uga ana pantese. Ora mung jalaran pancen bojo, (utawa gurulaki murih tandhese). Iku wis cetha, ning sing luwih wigati maneh jalaran ‘carane’. Carane mati. Carane mati iku lho kok ngono? Kok cupet banget. Apa pancen wis ora ana dalan liya ngudari prekara iku?. Jeneh prekarane jebul ya mung sepele?. Mbayar dhendha satus seket ewu?. Lho ngono wae kok direwangi ngendhat?. Ya iku sing nyebabake kasmirah kagelan banget.
Awan iku Kasmirah sing pagaweyane pancen buruh deres apea, isih katon iwut njupuki kaleng-kaleng wadah deresan tlutuh apea sing prelu dikumbah ing kalen kidul kana. Kabiyasan ngene iki kanggone para buruh deres ing desane Kasmirah pancen wis dikulinakake. Nadyan iki ora kapetung tenaga sing oleh bayaran, nanging jalaran kaleng-kaleng iku mau minangka alate nyambut gawe, harak gawe repote dhewe yen nganti ora ndang dicandak mumpung kober?. Jroneng kahanan sing kaya ngene iki mau Kasmirah disusul tanggane sing ngandhakake yen dheweke kudu enggal-enggal bali. Merga krasa aneh jalaran biyasane ora ana susul-susulan kaya ngene iki. Kasmirah takon ana apa. Merga sing ditakoni kedandapan, Kasmirah ora nggape. Nging bareng dheweke dipeksa supaya cepet bali kathik sajake pancen wigati tenan, mula Kasmirah kepeksa bali ninggal kaleng-kalenge sing isih reged iku. Bareng tekan omah. . .? Kasmirah nggeblag ora weruh dharatan maneh. Kasmirah semaput!
Iku wingi. Sakiki iki, Kasmirah wis ambegan maneh. Nging Kasmirah ora mangkat nyambut gawe. Pancen ora nduweni niyat, Kasmirah njetung ana tlampik. Nglamun!.
“Kang” celathune Kasmirah marang Paimo sawijining wektu nalika priya nggantheng iku ngrewangi dheweke ngumbah kaleng-kaleng deresan apea.
“Mbesuk yen nggonmu mocok dhuwite wis nglumpuk akeh apa aku ya ndang mbok lamar?”
Paimo njenggirat rada kaget nanging enggal bisa ngatonake ketatagane. Karo mesem Paimo kandha, “mesthi! Apa kowe kuwatir?’
“Kuwatir apa?” genti takone Kasmirah.
“Kuwatir ora ndang tak lamar?”. Kasmirah mandeng paimo karo mesem lan banjur ndhingkluk ngisik-isik kaleng sing lagi dikumbah. “Aku mung takon wae kok?!” kandhane dilagokake nganggo wirama genite Waljinah ing tembang “enthit” kae.
Ah, Paimo atine krasa lara nadyan atine ora dikapak-kapakake. Ewasemono Paimo uga ora tumindak apa-apa. Nadyan atine kepengin banget mithes irunge Kasmirah sing lanchip iku.
“kang” Kasmirah takon maneh :Mbesuk yen aku wis kok lamar lan gonmu mocok dhuwite wis nglumpuk saya akeh maneh, apa aku ya enggal kokresmeni?”.
Paimo kapeksa nyelehake kaleng sing durung patiya resik iku lan banjur numpangake tangane loro ing ndhuwur dhengkul karo mandeng raine Kasmirah sing isih ndhingkluk iku.
Kasmirah isih wae ndhingkluk nalika paimo kanthi suwara alon nanging mantheb kandha mangkene, “Kas, Aku ora arep mblenjhani janji. Aku isih eling lan tetep bakal tansah eling marang janjiku iku. Sauger dhuwitku wis nglumpuk akeh, aku mesthi bakal ngirid lakune wong tuwaku nyang omahmu saprelu nglamar lan cepet ngresmekake nenikahan. Sing semono iku apa kowe isih nyumelingake aku?”.
Upama iya ngono, apa aku kleru, Kang?” Kasmirah ndhengengak nyawang Paimo sedhela lan bali ndhingkluk maneh ngisik-isik kalenge.
Paimo njupuk kaleng maneh. Karo ngisik-isik kaleng, Paimo omong.
“Ya ora ngono, kas. Ning aku iki rak?’ “Kena apa kang ? Gela ya aku takon ngono? Iya, Kang?”.
“Aku ora nggelakake kowe, Kas. Nanging . . . . . . . .?”.
“Apa kowe gela jalaran dhuwite durung nglumpuk?”.
Paimo kedandapan sing ping pindhone. Lan Kasmirah ngguyu ihik banjur muni, “Wong aku mung takon wae, kok!”.
“Kowe aja mbeda aku lho, Kas. Yen aku gregeten mbuh kowe!”.
Ning Kasmirah ora wedi karo ancamane Paimo. Kasmirah malah ngadhepi cedhak banget lan wani banget adu arep karo Paimo. “Heh, Kang. Mbok kira aku wedi karo ancamanmu iku. Nyoh, arep kokkapakkake aku coba!”.
Iiiii . . . . . . . Cah gemblung Paimo iku yen ora wani. Barang ngono ae kok ora wani. Dupeh yo ora ana wong sing weruh ae kok. Ruha ndara malah isin dhewe a. Sun, Mo!.
Ewa semono Paimo malah nginggati pandengan. Ora kok isin, ning Paimo pancen ora nggagas tekan semono. Ning ya ora moralis. Mung lagi ora kepengin ngono wae.
“Kang” Kasmirah takon meneh. “Mbesuk yen dhuwitmu wis nglumpuk. Aku wis kok lamar lan kok resmekake dadi bojomu. Aku bakal kok wenehi anak pira, Kang?”.
“Mbuh!” cekak jawabane Paimo.
“Kang!” Kasmirah ngoyog-oyog lengene Paimo sing wis ditinggal mengo.
Paimo tetep meneng.
“Kang, aku takon tenan lho, Kang! Jawab ah, Kang!”.
“Rolas!”.
“Rolas? Hik hik . . . . . . . “ Kasmirah ngguyu cekikikan kaya wong diithik-ithik.
“Lha njalukmu pira, Kas?” takone Paimo karo ngingserake lungguh ngadhep arahe Kasmirah.
“Sakarepmu, Kang. Ning sing baku kowe aja mblenja ya, Kang. Kowe janji?”.
“Ho-oh! Angger kowe ya ora nggelakake aku. Angen-angenmu mesthi bakal keturutan. Pracayaa!”.
Kaya sing wis cetha, Paimo pancen ora blenja. Durung suwe iki panjaluke Kasmirah wis dituruti. Sing durung mung anak. Ning ora ateges ora bakal babar pisan. Seprene iki, sapatine Paimo, Kasmirah wis “lerenan” rong sasi. He-eh. Kasmirah ora lali pangitunge. Dadi cetha kabeh panjaluke bakal kasembadan. Mung wae cacade, mbesuk piye yen wis lair? Ah!.
Kasmirah isih dheleg-dheleg ana tlampik. Dheweke ora semaput maneh. Nanging mripate dleweran luh. Lan tangane kiwa tengen iwut gentenann ngusapi.
Ing jerone ati Kasmirah nyuwara, “ Ngono kowe kok tegel ya, Kang. Upama kowe gelem kandha karo aku ngono, aku mesthi bakal menehake kalung lan gelangku kok, Kang. Rak gelang kalung iki biyen tukon-tukonanmu a, Kang Kang. Kok kebangeten temen kowe leh … leh. Mbayar dhendha satus seket ewu wae kok mbok rewangi ngendhat , leh Kang… Kang. Karo maneh iku lho, Kang, kok kowe reka-reka nyewa sepeda montor barang iku lho, Kang, kowe arep nik endi, wong adate ya kok ora nik endi-endi leh, Kang….Kang. kok kebangeten temen kowe leh…leh.aku iki terus piye leh, Kang…Kang. Anakmu lagi telung sasi ya, Kang, mbesuk dhak ra nduwe pak ya, Kang.. Kang. …..!!!”
Isih akeh sing pating sliwer lan pating prenthul ing atine Kasmirah, sing kepengin diluntakake liwat tangisan lan pangudarasane. Nging, apa paedahe sekabehe iku mau? Babar pisan ora ana. Mung wae sajake Kasmirah kok durung bisa nggagas nganti tekan semono.
Nanging mbokmenawa kok pancen ora kudu saiki iki, ing wektu sing mula pancen isih banget-banget krasa kemrosak kaya iki. Nging mengko, yen tangise Kasmirah wis leren. Merga, kepriye bisa dialap sarehe yen dheweke isih nangis terus kaya ngono kuwi? Ya mesthi angel. Coba yen mengko Kasmirah wis meneng, ya mesthi bisa. Bisa ta,Kasmirah? Iki lho para maos pracayakna! +++



KLERU TAMPA

Wengi jam sanga luwih sithik. Wengi nalika aku uga dadi seksi urip jroning swijine pesta pernikahan sing yekti banget ngemereni ati. Aku weruh kanthi mripatku dhewe yen Panjenengan yekti-yekti kasengsem banget jroning kahanan Panjenengan sing mula pancen wis Panjenengan idham-idhamake wiwit adoh sadurunge kuwi. Lan iku babar pisan ora luput. Sepisan maneh dak ambali aturku, ora luput. Jalaran, kejaba pantese ing pesta nikah iku pancen kudu katon bagya ngana kae, kathik jebul mantene lanang iku rak pancen Panjenengan dhewe ta priyayine? Mula ya iku, kanggo kang kaping telune lan sateruse, aku matur. Panjenengan ora luput yen wengi iki katon kasengsem lan bagya banget. Dene yen ing pojok sing wis sengaja dipilih rada peteng tur sing Panjenengan aja nganti gampang pirsa, he em, ing pojok remeng nggonku lungguh iki, kok kepeksane ana ati wadon sing krasa mengkap-mengkap nging isih tetep dikuwat-kuwatake merga pancen ya kudu ngono iku tekade, iku rak salahe dhewe. Mau mula rak wis ngreti yen nekani pesta manten iku pangrasane kudu giyak-giyak utawa paling ora kudu bisa njumbuhi kahanan? Mangka yektine bab iku ya wis ginagas remit wiwit isih ing kos mau. Lho ngono kok nekad. Apa ancene yen wis ngono kuwi mengko ngantene lanang bakal gelem ninggal retune lan terus genti nubruk dheweke, ngono? Ngayawara! Nging, kepriyea bab iki mau kabeh pancen salahe dhewe. Ya, salahe dhewe!
NALIKA SAMANA….., ya. Pancen ora lucu critane. Ra lucu ! Utawa yen dipikir-pikir ngono sejatine malah rada nglarakake ati. Coba ta. Mosok wong kepengin kenalan wae carane kok mesthi kudu ngono iku. Lha mbok ya terus terang ngono bae ngapa. Apa wedi dotolak, lha wong aku iki rumangsaku ya ora wong galakan ngana kae kok. Akeh lho kenalanku iki. Ora mung njeron kene thok, nanging uga saka ngamanca barang. Erick cah Australi, Boston cah Zimbabwe, Thom cah Inggris, Kelly cah Amerika, lsp, pokoke akeh kenalanku. Rak hobiku ancen kenalan, kejaba ngrungokake musik lan nulis puisi? Lho ngono kok mamang. Kok malah nggugu karepe dhewe. Lha ya repot ta aku iki. Apa maneh Panjenengan iku priyayine gagah tur nggantheng kaya bintang film kae. Nadyan elek mbukeka kae, yen carane tepungan kaya Panjenengan iku, aku ya tetep gemeter ta.
Mosok wong karep njajan wae kok mesthi kudu ing warung sing padha, panggonan sing padha, jenis jajanan sing padha? Nggumunake maneh iku lho, wektune kok ya padha. Kok kaya wong semayanan ngana kae. Ngono iku, lah yen aku iki upamane nduweni kekuwatan linuwih kanggo mbirat rasa dheg-dhegan sing kerep kumat yen pas Panjenengan methungul lan sotya Panjenengan terus nyampluk mripatku ngana kae. Ora. Mula ya ngana kae ta. Aku kerep klera –kleru lan bingung karepku dhewe nalika lagi maem bakso kekaremanku.
Ngono iku ora pisan pindho nanging terus-terusan. Lan seprene iki mbuh wis pirang wulan kelakone. Sing cetha saben dina, saben jam setengah pitu bengi kurang luwiha sithik.
Sekawit aku sok kerep nggagas. Panjenengan iku sombong, kepara rada kemaki. Dak aturake ngono kuwi merga Panjenengan iku rak rada sleder ta Priyayine? Iku lho, buku-buku gedhi Panjenengan sing kerep Panjenengan glethakake ngono wae ing sadhekake mripatku. Ketoke kok le kaya sengaja dieber-eberake dimen diweruhi wong ngana kae. Huh, sombonge, rek …rek. Aku ngreti akeh mahasiswa kedokteran ing kutha Semarang iki. Siji lorone ya ana sing kenal. Nging rumangsaku kok ora kaya Panjenengan iki. Lan siji maneh iki saka Panjenengan. Kok le kemaki banget iku lho. Apa ora weruh yen ing ngarepe cedhuk iki ana wadon sing uayune ora mekakat nganti ngluwihi bintang film lan sing mesthine kudu tab-taban yen nganti bisa ketemu mripat? Utawa apa pancen rada ora pati awas? Nging mokal. Wong yen pas dhong arep njupuk kecap apa lombok ngana kae nyatane ya kerep meh tabrakan kok ora weruh. Ora ngandel aku. Mesthi iku mung merga saka kemakine wae. Dupeh gagah lan nggantheng kaya bintang film. Mula njur kena wae ta nyepelekake wong. Huh, dhasar cah kemaki! Ngono wingen-wingenane aku nggagas bab Panjenengan ing sekawit.
Nanging suwe-suwe jebul pangiraku kuwi luput. Panjenengan iku jebule priyayine becik. Semanak lan kebak pangreten. Luwih-luwih sawise kenal. Panjenengan iku jebul seneng humor nging uga bisa serius barang. Seneng blak-blakan nging ora kedhodhoran. Lan sing paling dak senengi yaiku Panjenengan seneng netepi janji. Kapribaden sing ngono iku, kanggone aku, wis cukup upamane didadekake titikan kanggo golek pacar utawa malah kanggo calon sisihan urip ngono pisan. He he, lha nyatane ing njeron ati sing sepi kene iki, sejatine aku iki rak pancen wis wiwit nyicil klambrangan tekan prekara iku barang, lho priye ta?
Ya. Nging iku tiba buri wae. Saiki iki aku dak nyoba nggambarake maneh kepriye biyen aku lan Panjenengan iki wiwit tepungan. Iki ya kalebu sing ora lucu iku mau. Coba ta Panjenengan galih dhewe maneh bab carane Panjenengan biyen tepungan. Nemen apa ora iku?
“ Heh, tunggu dulu !” Panjenengan dumadakan nyandhet tanganku ta wektu iku? Mangka, Panjenengan pirsa ta yen wektu iku aku wis ora betah kepenmgin selak mbayar baksoku lan kumudu-kudu cepet nggeblas ninggalake Panjenengan sing sombong lan kemaki iku.
Aku kaget setengah mati nganti kaya kelangan sekabehing daya kekuwatan engga kaya ngana kae ta aku. Aku ora kuwagang mbabut tanganku saka cengkeremane asta Panjenengan sing rosane jebul luar biasa.
“ Saudari dik Sari Puspita ta namanya?”
Aku sangsaya kaya patung urip rasane. Aku ora dora, yen wektu iku aku mung bisa plonga-plongo kanthi pandengan sarwa bodho ing ngarsa Panjengan sing sotyane sumorot padhang landhep kaya srengenge. Saka ngendi bisa ngreti jenengku, lan terus ketemu pirang prekara dene kok wani-wanine nyekel lengenku tanpa nunggu palilah lan tanpa rasa kuwatir dak pisuhi ing ngarepe wong akeh?
“ Heran ya? Tidak perlu heran. Nama adik memang Sari Puspita. Sebuah nama yang cantik. Adik adalah seorang mahasiswi jurusan Sastra Budaya Undip. Kini sedang berada di semester 4. Harap jangan mengelak. Maaf!”
Krungu ngendikane Panjenengan sing trampil lan sajak ngemu humor manis sing patitis iku dumadakan aku tuwuh kekuwatanku. E e lha. Kathik nganggo basa Indonesia barang. Apa dikira aku ya ora bisa ? kathik nganggo bedhek-bedhekan ra lucu tur ra mutu barang, apa dikira aku ya ra ngreti sapa sejatine dheweke? Ngono panggrundhelku nalika semana. Banjur kanthi trengginas moh kalah hawa, aturku.
“ Okey, gentleman. Be calm. I know too who you are. Your name is Broto Santiko. A docter candidate. Now you study in the medical faculty of Diponegoro University”.
Aku kepeksa mesem kanthi ati sombong. Nging Panjenengan malah ngendikan maneh nganggo basa manca iku, fluenly and very very difficult for me,sing sejatine ngono pancen ora ngreti apa-apa bab basa manca kuwi.
Aku isin. Nging uga kepeksa seneng. Merga ya jalaran iku mau aku lan Panjenengan banjur bisa kenalan apik lan malah kepara wis kabukten ninggalake sisa-sisa kenangan sing nengsemake atiku. Yoh. Terus terang aku pancen ora bisa nglalekake. Yen panjenengan janji arep tindak kosku ngana kae, aku mesthi merlokake banget nunggu sarawuh panjenengan tur aku mesthi milih pakeyan sing istimewa. Purihku, panjenengan supaya bisa marem. Lan maneh sing luwih penting. Kambi sering rawuh panjenengan ing kosku iku, aku dadi yakin karepku dhewe, yen panjenengan iku kekasihku. Kathik kanca-kancaku kos ya wis padha ngarani ngono iku. Pokoke yaiku lah. Kekasihku. Mung wae pancen ana cacade. Sithik thok. Panjenengan babar pisan ora tau tumindak romantis marang aku.
Wingi-wingi aku kerep takon jroning atiku. Kena apa panjenengan ora tau kersa tumindak romantis marang aku. Mangka aku sejathine rak wis kerep menehi kalodhangan? Kaya kae upamane. Panjenengan daksuwun ngeterake aku nonton bioskop. Yen pas layar peteng ngana kae, mesthine aku sumadya. Ning nyatane panjenengan kok isih tetep mung meneng wae. Mula sabubare nonton kae aku banjur meneng-menengan ta? Cethane ngono aku iki kagelan wektu iku. Ning kaya padatan, panjenengan isih tetep sabar. Lan ana ana wae sing ditindakake kanggo nyenengake atiku maneh. Hmm
Nanging saiki iki aku wis ngreti. Kanthi cetha wela-wela. Menawa kabeh kabecikan panjenengan marang aku iku mau jebul mung kabecikan kang satuluse. Kabecikan kang tanpa pamrih apa-apa. Saliyane mung kabecikan kang mula pancen kabecikan kang satuluse. Ah!
Saiki pancen wis ora ana sing prelu dijlentrehake maneh. Surat undhangan nikah panjenengan karo dr.Diwi Nimayanti sing panjenengan terna dhewe ing kosku bebarengan Kenya huayu Diwi Nimayanti dhek tanggal 25 mei 1994 winginane kae pancen wis dadi panjawabing sakabehe pitakonku. Ketambah wingi jam sanga luwih sithik iki. Ing endi panjenengan wis dak sekseni dhewe ( malah karo wong akeh uga), panjenengan wis nenikahan karo mbakayuku (ngono panjenengan nyebutake nalika ngeterke undhangan) – Diwi Nimayanti, sing mula pancen huayu tenan. Ora salah panjenengan nibakake keputusan nggarwa dheweke. Uga ora salah panjenengan, yen ing wengi iki panjenengan katon kesengsem banget jroning pesta pernikahan panjenengan sing regeng kepara rada mewah iki. Sepisan engkas ora salah. Babar pisan ora salah.
Dene yen ing pojok sing peteng kene iki kok kepeksa ana ati wadon sing mengkap-mengkap ning isih tetep kepingin dikuwat-kuwatake merga pancen ya kudu kaya ngono iku niyate. Iku pancen salahe dhewe. Salahe dhewe gegedhen rumangsa. Wong kabecikan kok dikira katresnan. Mula iku ben dirasakna dhewe.
Panjenengan pirsa ta sapa wonge? Ya wis! Aku ora arep nulis kedawa-dawa maneh. Isin!!




JIMAT

ANEH ! nalar saka ngendi sing marakeke wong-wong kae banjur dadi yakin yen aku iku nyimpen utawa nduweni bekakas sing kaya ngono kuwi. Nadyan pancen ya ana benere, manungsa kaparingan kabegjan sing datan kinira. Ning rak ya lumrah. Jalaran sing jenenge kahanan iku mono pancen ora langgeng. Ana kalane bungah, ya ana kalane susah. Ana kalane apes, ya ana kalane begja. Tur ya ora bakal kelakon. Wong urip kok mung kepingin entuk sing begja-begja thok. Lha apese terus arep diwenehke sapa? Karo meneh iki lho, ing jaman sing playune wis uadoh banget kaya iki, (nuwun sewu, nalika cerkak iki digawe, jamane malah wis ngancik rong taun luwih ngarepake kahanan urip sing sarwa reformis), kok ya isih ana lho, wong sing gampang ngeculna dhuwite mung kanggo karep nduweni jimat? Ngono ya ngonoa. Aku ora kepingin nguthik-uthik, apa maneh mbiji. Wong kuwi hak azasi. Mung wae aku iki gumun, kok bisa-bisane aku dianggep nyimpen utawa nduweni bekakas kuna sing jenenge jimat kuwi. Rak aneh ta, ing atase aku iki … ? (Ah, ora usah wae). Pokoke ya ngono iku mau : Aneh!
Awan kuwi, turuku diobrak-obrak maneh dening bojoku. Sing iki malah wis ngemu jengkel kae.
“Tangi. Kae lho balamu wis mara maneh. Arep nganakake demonstrasi nyang ngendi maneh. Kana selak kari mengko!”
“Sss. Iki jamane reformasi ya, Bu, dudu demonstrasi. Kleru tampa kowe, Bu”. Kandhaku, sanadyan ualon banget , nanging karo mentheleng. Jalaran, adate bojoku kuwi pancen lagi gelem nggugah aku yang tamune wis di lungguhake ing ruwang tamu. Ning jebul ora. Lha mula kok leren ngethuprus bab demonstrasi barang. Adate kok terus mblusek memburi . Terus lagi metu maneh karo nggawa teh ngana kae. Utawa palingpaling lagi ngomel yen tamune wis bali.
Ya ngono iku. Aku kapeksa ngukuri maneh sirahku sing ora gatel iki. Jan-jane wis wegah. Ning kepriye maneh, jamake tamu kudu dibagekake samesthine. Mula ya ngono kae. Abang-abang lambe.
“O, mangga, mangga. Pinarak. Saking pundi kemawon punika wau?”
“Biasa, Mas. Saking griya mawon. Ngapuntene lho nggih, kula ngganggu malih”.
“Mboten dados punapa”, kandhaku karo lungguh. Ingkang nami tetanggen. Kadhangkawisipun rak pancen ...?”
"Ngaten lho, mas…” kandhane dhik Tanto, sing lagi wae diwisudha dadi Sarjana Teknik Kimia.
“Kula kepingin mangsuli malih pirembagan kula kala wingi. Punika lho Mas, bab…...?”
“Bab punapa ta, Dhik?” takonku nadyan sejatine wis ngerti banget sing dikarepake.
Dhik Tanto mesem daktanggapi ngono kuwi. “Ampun ngaten ta, Mas. Kula punika sestu lho”, kandhane maneh, karo tetep ngatonake keyakinane yen aku nduweni barang simpenan kaya sing dikarepake kuwi.
“Nggih, kok, Dhik. Nyuwun tulung ah nggih, ponakan kula punika kepingin enggal angsal pedamelan. Dospundi ta, Dhik. Tiyang sepuh jaler mpun mboten gadhah. Menawi mboten enggal angsal pedamelan rak mesakaken mbokipun,” pak Girin melu nimbrung.
Pak Girin mono pakne-cilik Dhik Tanto. Dadi ya ana benere yen melu mrihatinake bab nasibe Dhik Tanto.
Mung wae aku iki arep omong apa. Jer nyatane ya pancen ora nduwe apa-apa. Lha mbok digledhaha omahku. Aku ora kabotan.
“Dospundi, Mas?” kandhane dhik Tanto. Krasa ngeget-ngegeti banget jalaran…, wah jebul aku iki mau wis nglamun barang.
“Kula tambahi kok, Mas, mas-kawinipun. Niki lho ". Dhik Tanto nibakake amplop kandel ing meja ngarepku.
Mak-plilik mripatku weruh amplop kandel sing isine mesthi dhuwit iku. Dhasar aku iki sejatine pancen butuhan dhuwit ngono kuwi. Nanging mbuh. Pikiranku nggagas ngene : Semono gedhene wong nglabuhi karep. Yen karep utama, kaya ta golek pegaweyan. Aku salut. Nanging iki … jimat? Gugon Tuhon? Mitos? Gegambaran alam pikiran sing imanen? Sing kinurung? Sing sacara kabudayan wis mujudake sipat mundur adoh saka penere tataran antologis lan fungsional kaya sing jamake diburu ing jaman saiki iki? Sing sarwa reformis? Mangka, katone ora mung reformis-intelektual nanging malah reformis-theologis. Rak ngono ta katone reformasi ing kene iki? Mbuh, mbuh. Pokoke aku ora mudheng karo apa sing sayektine dipikirake dening dhik Tanto sing Sarjana iku. Kathik dhasare ya pancen tiba cengkah. Tegese, aku iki ora nduweni jimat kaya sing dikarepake iku.
“Tulung nggih, Mas. Kula mboten badhe nyupekaken panjenengan kok, Mas” Wah , maneh-maneh aku kedandapan. Wong kok ngene iki piye.Entek akalku.
Suwe-suwe aku ora betah. Dalan sing nyata wae dakpilih. Mbuh bakal nyenengake mbuh ora. Manungsa pancen nduweni karingkihan. Ora bakal bisa nyenengake atine saben wong. Sing baku. Aku ora nyimpen niyat ala. Aku mung kepengin nuduhake kahananku sing sayektine. Mula kandhaku marang dhik Tanto," Nggih-nggih, Dhik. Ngaten kemawon. Mbenjang dinten malem Jumat Kliwon kinten-kinten jam 18.30 wib panjenengan kula aturi tindak ngriki malih. Dospundi?”
“Nanging estu lho, Mas,” kandhane dhik Tanto meh bareng breng karo pakne-cilik.
Atiku mak plong. Dhik Tanto, pakne-cilik, lan sing loro kuwi mau mbuh, aku ora patiya ngreti - mbok menawa kanca liya desane dhik Tanto - sajak seneng dak jawab ngono iku. Ora let suwe maneh malah terus bali.
Sore iku, ngadhepake jam 18.30 wib malem Jum’at Kliwon kaya sing dak janjekake marang dhik Tanto. Aku wis nyiapake sakabehane. Muga-muga kanthi cara ngene iki mengko dhik Tanto lan wong-wong liyane sing nduweni panemu utawa panganggep marang aku kaya dhik Tanto iku, bisaa marem atine sokur bage terus bisa leren nggone nguber-uber aku. Heem, wis entek akalku.
Tenan. Dhik Tanto mara tenan. Malah dikancani wong rada akeh. Nadyan aku kudu ngetokake kursi njero, ra apa-apa, saya akeh sing mara, aku saya seneng. Ben ndang rampung prekarane.
“Mangga-mangga, “ tanggapku karo iwut nata kursi. Kursi njero papat tambah kursi dhapur papat kebak kabeh. Dadi tamuku kabeh gunggunge rolas. Seneng tenan rasane aku. Bojoku ya wis mblusek memburi. Bocah-bocah wis dakkandhani supaya aja metu saka kamar.
“Kaliyan jagong rumiyin nggih, Dhik. Santai mawon !” kandhaku marang dhik Tanto, sing ketoke kaya wis ora pati sabar maneh kae. Panyawange langsung tumancep menyang ing pethi sing daktutupi kain mori iku.
“Ngaten kok badhe mbulet mawon ta, Dhik. Wong jebule nggih pancen estu kagungan ngaten kok!” aloke pak Girin semu melehake aku.
Ning aku mung mesem ngono wae. Nadyan samesthine sing ana ing batin iki malah wis ndhisiki kudu ngguyu mekekelen.
“Niki lho, Mas…?” Dhik Tanto ngranggeh tanganku karo nggegemake amplope.
Nanging kanthi alus daktampik. “Mangke rumiyen ta, Dhik. Kula rak sampun matur. Santai mawon rumiyin. Lha wong nggih taksih sonten mawon kok. Kaliyan jagong-jagong rumiyin. Kaliyan malih anu, Dhik…” kanhaku sengaja ngendhegake rembug, ora marga ana sing luwih wigati, nanging mung saderma ngemu karep cikben bisa rada kedawa-dawa, ya, mung ngono wae thok. Nanging jebul bojoku kebeneran malah wis ngetokake teh. Ya tiwas kebeneran tenan yen ngene iki. Aku dadi enak wae medhot pirembugan lan nyingkiri kawigatene tamu.
“Mangga lho. Namung teh mawon. Kendelan. Mangga dipun unjuk,” kandhaku nawakake teh karo isih iwut mindhahi teh saka bakine bojoku nyang meja.
Dhik Tanto lungguh maneh. Ana sing kandha, “Wah, ngrepotaken nggih!” nanging bojoku nanggapi ,”mboten ah, lha wong nggih namung teh kendel kemawon kok. Mangga lho, dipun unjuk!”
Bareng wis rada penak, aku banjur miwiti omong. “Ngaten lho dhik Tanto, pak Girin, lan sedaya kemawon. Mbokbilih panjenengan sedaya pancen mboten klentu menawi sampun kagungan panginten bilih kula punika nggadhahi jimat. Inggih, sak mangke kula akeni sak wontenipun. Punika barangipun. Kula wadhahi pethi lan kula tutupi mori. Punika sedaya wonten werdinipun.
Kula wadhahi pethi. Jalaran, sepisan. Kula mboten kepengin kecalan barang ingkang kula anggep aji punika. Mila kula simpen primpen supados ampun ngantos saged dipun panggihaken dening lare alit kanthi cara gampil satemah lajeng kangge dolanan.
Pethi kula kunci. Sasaged-saged, kula kepengin nyimpen primpen barang ingkang kula anggep aji punika. Malah rada keladuking pangangen-angen kula ing bab punika, babar pisan kula mboten kepengin tiyang sanes ngantos nyumerepi. Punapa malih ngantos anjrah dipun sumerepi tiyang kathah. Awit tujuan kula pancen mligi namung kangge kula sak brayat piyambak kemawon. (Ketoke egois banget ya, nging iki rak mung kanggo nggedhek-nggedhekake ukara dimen sing krungu saya mendelo)
Lajeng kula tutupi mori. Kula nyuwun pangapunten. Raosipun awrat kula badhe matur bab punika. Nanging kula pitados bilih panjenengan mesthi sampun pirsa piyambak bab wigatosipun mori punika. Cekakipun mangga dhateng pamanggih panjenengan piyambak. Ingkang terang kula pancen estu-estu nganggep bilih barang punika aji tumraping kula piyambak.
Lajeng samangke, kados pundi, dhik Tanto? Punapa panjenengan pancen estu-estu mbetahaken barang punika?” ngono pungkasane nggonku omongan.
Nanging Dhik Tanto lan kabeh tamuku katone kok kaya tidha-tidha. Apa banjur padha nglamun, apa banjur nduweni panggagas liyane marga saka omonganku ing ndhuwur, ora cetha.
“Dhik Tanto” clulukku alon nanging manteb. Sing dakundang tanggap.
“Dos pundi. Punapa sios?”
Daktanting ngono kuwi dhik Tanto ngingetake pamane kaya-kaya mbutuhake tetimbangan. Aneh, pancen, kok dumadakan bisa kaya ngono? Nanging iki nuduhake kahanane pikiran kang gojag-gajeg. Ngono panggrayangku.
“Nanging punapa pareng menawi kula kepengin ninggali rumiyin, Mas?”pitakone dhik Tanto.
“Dos pundi menawi mboten?!”genti takonku, karo mesem sing tenan kae.
Dhik Tanto meneng, kabeh meneng. Apa tegese?
“Menawi sami mendel, punapa barang punika kula simpen malih kemawon?”kandhaku karo wiwit nyekeli pethi.
“Ampun mbeda ta, Mas!”tanggape dhik Tanto spontan. “Ampun klentu ing panampi lho nggih. Sejatosipun menawi mboten kepeksa sanget, kula pancen radi eman miyak wewadi punika. Mila sakmangke kados pundi panjenengan?”kandhaku maneh.
“Mpun dhik, njenengan bikak mawon”, pak Girin sing muni ngono.
Kabeh padha katon semangat. Ning bareng wis daktuduhake barange…?
Aneh. Kok kabeh banjur padha katon nglokro? Gela, apa piye. Anehe maneh kok ya ora ana sing komentar. Malah let sedhela maneh banjur padha pamitan mulih.
Aku ngudarasa dhewe. Dadi mung semono pananggape wong marang ...? Barang kang sejatine luwih dening aji tinimbang jimat? Hem.
Daksawang, ing petengan wong-wong kae ninggalake karasing omahku. Dak kekep kenceng ....ku. Ya sing kepeksa wis dak kandhakake jimat marang wong-wong kae mau. Sanadyan tumrape wong-wong kae mau ora ana tegese apa-apa. Malah sajake dianggep jimat wae ora. Nging ya iki sing wis dakugemi dhewe sakbrayat minangka dhasar lan cekelane urip ing ndonya lan akherat.



DHUWIT KOS

Jan edan tenan. Ana wong ayu , ora neka-neka tur bekti karo wong lanang. Terus, dhuwit limang atus ewu mrucut saka gembolan. Nanging Dargo, senadyan atine getem-getem setengah mati merga prekara iku, kepeksane ya mung diulu dhewe ngono wae jalaran kejaba wis kadhung diniyati kathik nyatane ya pancen kalah janji. Mula terus kepriye? Lha kepriye maneh wong wis kadhung?
KAWIT-KAWITANE rak ngene. Kantor sing lagi diplangkringi wong papat: Hasto, Minto, Dargo lan Sarjo iku, dengaren sepine ora mekakat. Wolung puluh persen isine pancen wis dha nggeblas dhewe-dhewe. Nging rak ana Hasto, si tukang gawe kisruh sing wis kadhung kawentar ing saindhenging kantore iku? Cah siji iki adate pancen ana-ana wae akale, sing bisa ndadekake suwasana kantor banjur dadi umyeg engkel-engkelan utawa geger gender ngguyu latah cekikikan. Nging mbuh gene sedhela iki mau kok terus melu-melu njubleg kaya ngono iku. Apa saiki wis dadi cah alim? Utawa, apa ana setan gendruwo liwat sing timbang nganggur terus nyambi mbabut pikirane Hasto temah dadi linglung kaya iku. Apa merga dhuwit gaji sing bareng dieting-etung sisane jebul mung kari min, mangka angen-angene isih diumbar nglambrang ing awing-awang? Mbuh mbuh, ra ana sing mudheng apa jalarane. Sing wis cetha kedadean, ya mung dumadakan ngono wae, wong papat iku jebul tinemu wis padha njetung ing plangkringane dhewe-dhewe. Mbuh padha nglamun mbuh ngapa, ra ana sing mudheng.
Wis rada sawetara kasepen sing ngono iku mau mung dienjarake ngono wae nggembuleng ing sakiwa tengene.nganti sateruse ana sing rumangsa kerinen, nganti wis ora kuwat-kuwata kae. Mula, bareng utege wis padha kroncalan, ra sranta tangane diantemake meja engga nuwuhake suwara jumledher, sing kanggone wong telu liyane, sing ora ngreti sangkan parane dumadi iku, suwarane keprungu nganti ngluwihi suwarane bedhleg.
Wong telu njrumbul bareng sakayange. Nalika isih padha plonga-plongo, Hasto ngadeg karo lambene ngedumel,” Heh, precaya kowe…, ana wong wedok uayu buanget, ora neka-neka, triman, kathik isih bekti marang wong lanang?”
Ora ana sing sudi nyaut. Mbok menawa isih dha semlengeren.
“ He, Dar ! apa kowe precaya ana wong wedok uayu buanget, ora neka-neka, triman kathik isih bekti marang wong lanang?”
Dargo mengo ngenggati pandengane Hasto karo ngatonake sikep rada jengkel.
Nging Hasto ora preduli. Weruh sikepe kancane sing sajak nyepelekake kuwi, dheweke nyedhak ing ngarep mejane Dargo. “ Piye, Dar. Kowe precaya apa ora?”kandhane Hasto mbaleni omongane.
“ Ra omongan !” tanggape Dargo karo entha-entha mbukak laci meja nadyan ora golek apa-apa.
“Lha kok ora omongan jare. Wong ditakoni ngene kok. Awakmu iku lho, Dar. Apa precaya ana wong wedok uayu buanget, ora neka-neka, triman tur isih bekti marang wong lanang?”
“ Nggedebus!”
“Lho lha kok malah nggedebus jare. Lha wong ditakoni precaya apa ora kok malah nggedebus. Iki ora prekara nggedebus apa ora, Dar. Iki mung prekara kowe precaya apa ora ngono wae thok lho.”
“ Aku iki ora kudu nyauri omonganmu sing nggedebus iku, Has. Mbok awakmu iku ngreti lan gelem meneng ngono lho” Dargo jengkel.
“ Lha rak malah diodot nganti nglewer semono dawane ta. Lha wong prekarane mung sithik thok kok malah dingonokake. Ngene lho, Dar, karepku iki mau. Awakmu iku tak takoni. Lan pitakonku iku unine ngene: Kowe iku apa precaya, ana wong wedok uayu buanget ora neka-neka, triman tur isih bekti marang wong lanang? Lha awakmu iku dak jaluk supaya aweh jawaban. Lan jawabanmu iku ora prelu dawa-dawa. Cukup precaya apa ora. Ngono wae thok lho. Ayo ta, Dar. Precaya apa ora?”Hasto ngoyak terus jalaran pancen duwe karep.
Dargo ambegan landhung. Cah siji iki yen ora dituruti ya nguber terus. Nanging yen dituruti terkadhang nglarakake ati.
“ Karepmu kuwi apa ta, Has.” Dargo ngalah..
“ Lha rak ngono. Karo kanca iku omongan sing kepenak ngono lho. Apa-apa iku yen dirembug kanthi enak, asile ya enak. Saiki ngene lho, Dar. Rungokna sing cetha. Aku takon marang awakmu. Apa kowe precaya ana wong wedok uayu buanget, ora neka-neka, triman tur bekti marang wong lanang?”kandhane Hasto dicethak-cethakake, nganti kaya marang wong bodho tenan ngana kae.
“ Yen aku kandha precaya awakmu arep apa, lha yen aku ora precaya awakmu ya preduli apa” sengaja Dargo milih tembung-tembung sing ngono iku kanggo nyegati marang sok ndugale Hasto sing terkadhang pancen ora pati ngawistarani.
“ Lha kok mbulet ngono iku ta, Dar. Precaya apa ora ngono wae thok lho. “
Sawetara Minto lan Sarjo mung ngrungokake ngono wae rembugan gebleg sing ora tekan-tekan iku, nadyan kadhangkalane karo ngempet guyu.
“ Ora precaya ! Saiki arep apa awakmu?”tangkepe Dargo. Ora kok merga duwe alesan gumathok, nging merga ra ana dalan liya. Kanggone Dargo, precaya apa ora oleh-olehe mengko mesthi padha. Kok ngono? Ya aja gumun. Wong Hasto kok. Ya iki sing marakake wegah milih.
“ Lho, wani totohan pa kowe, kathik muni ngono iku?”panantinge Hasto.
Krungu tembung totohan, Minto sing lumrahe luwih nganca Dargo tinimbang marang Hasto iku terus melu nrambul. “ Wani, Dar. Pira Has totohane?” omonge Minto setengah nantang Hasto.
“ Njalukmu pira?”Hasto menehi ajang jembar.
“ Lha mbok limang atus ewunan, wani aku , Has!” kandhane dargo manteb.
“Aja akeh-akeh,, Dar. Mengko mundhak gela!” Hasta kandhan-kandhan nanging panampane Dargo lan Minto malah ngira yen Hasto wedi.
“Awakmu iku niyat ngajak totohan apa plekotho-plekothoan, Has. Yen wani ya iku, limang atus ewunan. Yen ora iku liwih becik ra usah totohan ra barang. Rak ngono ta, Min”
“Piye, Has. Awakmu sing wiwit gawe gara-gara lho”.Minto mbalik maido Hasta.
Hasto mung mesem ngono wae. Dheweke ora wedi totohane, nging sepisan engkas mung kepengin ngelingake. Nanging, wong ketoke ngono, mula kepriye maneh.
“Dadi awakmu iki pancen niyat ngajak totohan tenan ta. Limang atus ewunan. Ya, aku nyaguhi. Nging, sapa sing niyat bakal totohan karo aku? Dargo apa Minto, cethakna pisan” ngono kandhane Hasto njaluk ketegasan.
“Aku, Has. Tibakna meja dhuwitmu. Iki dhuwitku”. Dargo ngrogoh dhompete ing sak mburi terus ngetokake atusan lima sing nylempit kaya setrikan. Ora kepetung babar pisan yen dhuwit iku mau sejatine panas merga cageran kanggo mbayar kos wulan iki.
Hasto uga banjur ngetokake dhuwite.
“Jupuken, Min. Lan kowe, Jo, melua dadi seksine” prentahe Dargo marang Minto lan Sarjo.
Sing diprentah menyat. “ Sing nggawa dhuwite aku apa Sarjo?pitakone Minto.
“Gawanen kowe wae, Min. Sarjo cukup dadi seksine wae”, kandhane Hasto ngemu karep ngyakinake Dargo jalaran Sarjo iku kanca rakete Hasto.
Saiki rembugan diarahake bab kepriye carane mbuktekake bener lupute omongane Hasto ing ndhuwur kuwi mau. Dargo njaluk supaya dheweke sing ngatur carane. Totohan batal yen nganti ana bab-bab sing ora manut marang cara sing bakal diterapake. Hasto sarujuk.
Bareng wis mateng rembuge, wong papat terus padha budhal ninggal kantor tumuju kantore Bejo, wong sing beja tenan jalaran duwe bojo uayu, ora neka- neka setya tur isih bekti karo wong lanang iku.
Tekan kantore Bejo, kebeneran ngepasi bubaran. Bejo dhewe kebeneran rada ngeri baline.
“ Jo, tunggu sedhela!” bengoke Hasto bareng weruh kliwere Bejo lagi ngener sepedha motore ing halaman parkir.
Bejo clingukan krungu jenenge diundang wong.
Hasto ngawe-awe aweh pratandha.
“Jo! Aku prelu marang awakmu”, kandhane Hasto bareng wis adu arep. “Oya. Iki kenalna kanca-kancaku!”kandhane Hasto maneh.
Bejo ngathungake tangane genti genten nyalami wong telu karo nyebutake jenenge.
“Ngene lho, Jo. Tekaku mrene iki mau mung arep ngyakinake kancaku telu iki yen ta awakmu iku duwe bojo uayu, ora neka-neka, setya kathik isih bekti marang wong lanang. Cekake ngono, kanca-kancaku iku ora dha precaya marang bab iku. Ngono lho, Jo”
Bejo mesem setengah maido Hasto. “Ngono wae kok ndadak kok kandhak-kandhakake wong ta,Has?”omonge Bejo karo rada kisinan.
Sawetara, Dargo, mbuh merga apa, ing njero atine dumadakan krasa kaya ana sing ora kepenak. Nging mung disimpen rapet-rapet ngono wae.
“Ngaten lho, Mas Bejo. Cethanipun kula niki wau ngantos totohan kaliyan Hasto bab kaleresanipun cariyos kalawau. Awit yektosipun kula punika mboten pitados. Punapa pancen estu Panjenen gan ingkang kagungan garwa uayu, mboten neka-neka, setya kathik taksih bekti dhateng garwa? Panjenengan mboten prelu lingsem. Panjenengan blakakaken kemawon sakwontenipun.”
Bejo rada gela bareng ngreti yen bab bojone iku jebul malah wis dianggo totohan barang.
“Mangga lho, Mas Bejo. Panjenengan ngendikakaken sak wontenipun kemawon supados enggal rampung prekawisipun”. Dargo ndheseg Bejo sing katon isih lingak-linguk
“Wah, estunipun kula mboten seneng, Mas, Panjenengan sami totohan kados mekaten punika. Nanging kedah matur punapa malih kula punika….., jalaran estunipun pancen nggih leres kados mekaten punika kalawau”kandhane Bejo karo tansah nggelakake bab wewadine sing wis dianggo totohan iku.
“Dados leres garwa Panjenengan pancen kados criyosipun Hasto kalawau, ngaten, Mas?”
“Nyatanipun enggih, Mas”
“Nggih sampun menawi ngaten. Sakmangke mangga sami kita buktekaken sesarengan dhateng garwa Panjenengan piyambak. Nanging kedah kula ingkang ngatur caranipun. Panjenengan kedah ndherekaken kemawon. Mekaten caranipun….”.
Dargo ngandharake cara-carane sakcetha-cethane. Bareng kabeh wus padha mudheng, banjur gegancangan budhal menyang omahe Bejo.
Tekan omahe Bejo sing senadyan ora gedhe banget nging tinata apik tur resik iku, Dargo wis ora pati sabar maneh selak kepengin ndang bisa meruhi kaya ngapa wujude bojone Bejo sing wis dikandhakake nganeh-nganehi kuwi. Sawatara atine Dargo isih manteb.
“Kula nuwun!” Dargo sing paling ngarep, uluk salam.
Let sedhela maneh swijining wong wadon huayu methungul saka walike kordhen, terus gita-gita mbagekake tamunebareng ngreti yen salah siji tamune iku jebul bojone. “ Mangga-mangga. Kula aturi pinarak!” Siji mbaka siji tamune disalami kanthi grapyak sumanak lan nyenengake.
“Sakedhap, nggih….. kula…..”
“Mangke rumiyin, Bu. Bab punika pianggih gampil mangke. Nging dhateng kula punika kala wau jalaran wonten bab ingkang wigatos sanget kagem Ibu, tur mboten saged dipun tengga-tengga malih”. Dargo nyandhet lakune wong huayu sing wis meh ilang ing sawaliking korden singgetan ruwang tamu iku.
“Ah, gampil mangke”.
“Bu! Estu lho punika. Kula wangsul lho menawi Panjenengan mekaten!” Dargo ngancam, lan pranyata kasil medeni bojone Bejo.
“Ngaten, lho Bu. Sejatosipun anggen kula sowan ngriki punika kalawau namung badhe matur dhateng Ibu bab anggenipun mas Bejo sampun kecopetan ing Pasar Johar. Kenging punapa kok kedah kula ingkang matur? Awit mas Bejo piyambak ajrih menawi ngantos mboten Panjenengan pitadosi”
Wong huayu iku genti genten nyawang bojone lan marang tamu-tamune, kaya-kaya ora precaya marang critane tamune.
“Jangkepipun rak mekaten…” kandhane Dargo nerusake critane. “Kula tiyang gangsal punika kalawau niyat blanja ing Pasar Johar. Sarehne sami ngurusi blanjanipun piyambak-piyamba,mila ngantos mboten saged mikiraken kawontenanipun kanca. Malah,nalika mas Bejo dumadakan nguwuh bilih dhompetipun dipun saut copet, kula sadaya punika sagedipun namung plonga-plonmgo kamitenggengen. Mangka sadaya arta gajinipun mas Bejo dipun simpen ing dhompet punika kalawau. Awit saking ajrihipun mas Bejo, mila kula nyagahi dados seksi bilih mas Bejo pancen estu-estu sampun kecalan dhompet sak arta gajinipun. Inggih, pancen estu mekaten, Bu. Sakmangke kantun sumangga masaborong Panjenengan.”
Wong ayu iku katon nyerot ambegan dawa. Saka mripate katon kaya ana kasedhihan sing nggameng. Sawetara, Dargo katon manteb banget atine lan wis ndhisiki nyicil surak-surak menang. Dene Hasto katon ndhepipis sendhen tembok karo ndhingkluk.
“Lha wong sampun sami diwasanipun ta, Bu. Kula kinten mas Bejo nggih sampun saged njagi kawilujenganipun piyambak”, kandhane Dargo maneh, ngemu karep sengaja memanas.
Wong ayu kuwi mandeng bojone, terus kanthi tanpa kanyana-nyana nubruk sing lanang karo nangis. “Ngretia, Pak. Esuk mau, nalika Panjenengan lagi wae tindak, aku krungu swara pating jlerit kacampuran jledhar-jledhore kaca pecah. Sanadyan alok njaluk tulung, nanging aku ora wani metu jalaran aku wong wadon. Lawang tak tutup rapet lan aku mung bisa nginjen saka njeron omah. Bareng wis rada suwe lan katon ana wong pating brubul, aku lagi wani metu nanjihake. Jebule, Pak, bu Kasmin dadi royongan, merga tangane gubras getih kesabet clirite rampog sing wis kasil nyrobot dhuwit lan mas-masane. Saiki wis digawa menyang Rumah Sakit. Mbuh piye nasibe, Pak, aku ora ngreti.”
“Punapa rampogipun saged kacepeng, Bu?” pitakone Dargo.
“Mboten, Pak. Rampogipun nggeblas kaliyan sepedha motoripun tanpa wonten ingkang saged nyaru biru jalaran limrahipun menawi wekdal enjang mekaten wontenipun namung para tiyang estri”.
Kabeh manthuk-manthuk.
“Mula aku rumangsa beja dene Panjenengan isih kaparingan slamet kanthi bagas kuwarasan. Dene bab dhuwit gaji sing wis kadhung ilang, diekhlasake wae, Pak. Dhuwit bisa digoleki nanging yen nyawa, piye ;lan ing ngendi nggone tuku, Pak?”
“Wis, Bu, aja nangis! Tamune dirumati!” kandhane Bejo ngelingake bojone.
Sing diereh-reh meneng. Terus memburi, mesthine arep nyuguhake pasugata.
Nging ora kaya marang sih isih padha ngadeg ing ruwang tamu. Hasto mandeng Dargo. Dargo mandeng Bejo. Bejo lingak-linguk. Sarjo mecucu kudu ngguyu. Minto weruh monyonge Sarjo sing katon lucu, terus nyadhuk dhengkule Sarjo. Maksude, Minto ngandhani Sarjo supaya aja ngguyu. Nanging raine Minto dhewe katon kudu ngguyu. Mula bareng karo sadhukane Minto ing dhengkule Sarjo iku mau, tanpa kajarag, guyune wong loro iku mau mbledhos bareng sak pol-pole kae.
Sekawit Hasto ora wani melu ngguyu, jalaran pakewuh karo Dargo. Nging bareng dilirik jebul Dargo dhewe ya lagi ngempet guyu,mula bar-barane wong loro iku ya melu-melu nyekakak pisan. Mung Bejo dhewe sing katon tatag, malah kaya nggumun kae. Batine, wong-wong iki, geneya kok dha ngguyu?
Nanging wong papat iku wis kaya ora preduli maneh karo sikepe Bejo sing kaya nggumunake kuwi. Nganti kaya ana sing kudu mutah-mutah. Nganti wusanane terus mak cep klakep karepe dhewe.
Sedhela maneh bojone Bejo metu nggawa baki isi wedang karo gedhang goring.
Hasto ngukur pipine karo ngulatake Dargo. Dargo krasa yen lagi diulatake Hasto. Dargo ngenggati pandengane Hasto lan genti mandeng Minto. Mangka Minto dhewe yektine lagi ngempet guyu sing wis prekeenengan banget ngana kae. Mula sepisan engkas guyune wong papat mbledhos bareng gawe kagete bojone Bejo. Banget saka kagete, ora krasa baki mrucut saka cekelan nuwuhake suwara pating klepyar ing jogan plester. Wedang sak gedhang gorenge mawut.
Tekan kos Dargo nglamun, nggetuni dhuwite sing wis genti sak. Mangka dhuwit iku cageran nggo mbayar kos sasi iki. Atine getem-getem kumudu-kudu misuh. Nanging bisa apa jalaran kejaba wis diniyati kathik nyatane ya pancen kalah janji. Dargo muleg pikirane nganti ra karep sega.
Jroning kahanan sing ngono kuwi, dumadakan Dargo weruh kumleyange kertas diuncalake wong saka jendhela kamare sing bukakan. Bareng diwaspadakake, jebul dhuwit limang lembar atusan ewon.
Dargo njenggirat tangi terus mangklung jendhela nguber sapa kira-kira sing wis nguncalake dhuwit iku mau.
“Aku mung niyat guyon, Dar. Aja dadi atimu ya!” kandhane Hasto karo nguncluk ninggalake pekarangan omah kos-kosane Dargo sing jembar iku.
Dene Dargo mung bisa mlongo sedhela terus bali ngguyu maneh.
“Gebleg!” unine Dargo, mbuh nguneni sapa. ***


PAIT

Pait! He em, pait banget! Kaya bratawali. Kaya woh mahoni. Nganti Miran gebes-gebes. Nganti Miran blokekan. Nganti Miran ra wurunga ya bungah barang. Lho, kok ngono? Ya aja kaget. Karan Miran iku sapa? Rak cetha ta. Yen Miran iku mung lulusan smta sing bare kuwi njur klunthang-klunthung saben telung dina pisan metu omah karo nggawa stop map ireng. Mbuh ngapa lho iku. Gek-gek mung nggo wah-wahan ben dipayoni prawan utawa nggo mengkirig-mengkirigi wong tuwane prawan sing diincer? Ya ati-ati wae lho! He-em, lan saluwihe mung jaka sing ora bandha, ketoke kok pancen wis ora ana. Merga rupa rak pancen ora bisa diendelake? Apa maneh dhasare ya pancen mung sedheng-sedheng ngono iku wae. Ora! Pancen wis entek. Lho ngono kok ngalap Susi? Prawan sing kejaba ayu thik isih sarjana tur bandha pisan? Rak padha wae kodhok nggayuh lintang ta kuwi? Arepa ana Sam Pai – Ing Tai ing Negara Cina, Rara Mendhut- Prana Citra, mesisan Romeo – Juliet, rak tetep ngaya tiwas pralaya ta kuwi? Lumayan mampus, timbang urip kathik ora keturutan. Utawa malah direwangi nganti gendheng ra waras-waras rak malah cilaka? Ya merga saka kahanan sing kaya ngono kuwi mau mula Miran nganti ngalami lelakon urip sing rasane pait. He-em malah pait sing nganti nganggo banget kae. Sing kaya bratawali. Sing kaya woh mahoni. Sing Miran nganti gebes-gebes. Sing nganti Miran blokekan. Sing nganti Miran ra wurunga ya bungah barang.
KETOKE pancen aneh. Ana pait kathik nganggo banget. Sing kaya bratawali. Sing kaya woh mahoni. Sing Miran nganti gebes-gebes. Sing nganti Miran blokekan. Sing nganti Miran ra wurunga ya bungah barang. Nging cacade iki arep ngrembug bab aneh apa lumrah. Sajake Miran dhewe malah wis ora preduli ing bab iku. Lha banjur apane sing arep dipredulekake. Lho, pengin pirsa ta? Ya waca wae yen ngono!
Wiwitane rak ngene. Miran lan Susi iku biyen sak kelas nalika isih padha sinau ana ing smta. Lha mbuh merga apa (ra ana sing mudheng ikikejaba wong loro iku thok). Kok meneng-meneng jebul wis padha sir-siran karepe dhewe. Upama dibedhek kaya lumrahe wong batangan ngono, wis mesthi iku merga saka kulina. Nging rak ya akeh ta sing padha ajar kulina ing sekolahe kana biyen? Upama dibedhek merga saka mripat terus mudhun ing ati piye? Iku padha wae kecelike. Dikira apa mung Miran- Susi thok ta sing dha sawat-sawatan mripat? Lha genah yen ora ta. Kamangka jaka-prawan ing sekolahe wae akehe wis ora mekakat. Durung sing nyambi-nyambi ing izusu sing ben dina ditumpaki nalika lunga lan teka saka sekolah. During sing nedya nggasang kala ing dalanan kiwa tengene sekolahan. During sing nginjan-nginjen (mung iku thok merga wis ngrasa kalah pamor, nging tetep ora bisa nglenggana) ing suwalike gedhege sing arang kranjang. Lha ya merga saka iku ra usah kathik bedhek-bedhekan barang. Karo maneh kanggone ya apa. Sisip sembire nganti kleru malah digeguyu.
He-em pokoke ngono iku. Miran-Susi jebul wis dha sir-siran dhewe-dhewe. Mbuh wiwit kapan, sajake ya ra ana sing nyumurupi. Nging siji iki ana sing ngreti bab carane ngatur sesambungan. Penulis sing ngreti. Ya iku, nganggo layang. Dadi cethane ngono dha layang-layangan ngana kae. He-em , nganti sawijining dina keprucut tembunge. Iku, nalika wengi perpisahan ing sekolahane.
“ Mesthi kowe nerusake ya, Sus” ngono Miran miwiti omong nalika semana.
“ Lha kowe, Ran. Apa mung tekan semene/” Susi malah genti takon.
Mula Miran banjur ambegan landhung.sejatine ing atine iku wis rada sawetara ngrasakake pait. Dene paite iku wis cetha banget. Miran iku rak padha wae kepengin ngedegake omah nging ra duwe cagak? Atine pengin sekolah, malah kepara kepengin banget kae, nging dhuwite ora ana. Rak tanggane wis dha ngreti yen Miran iku anake sapa ta. Wong tuwa loro pancen isih ganep. Mung pancen wong mlarat, nadyan ya ora pati nemen nggone nggendhong jagad kae. Miran bisa kasil mungkasi sekolahe kathik malah lulus barang iku rak wis kalebu beja sing kemayangan kae mesthine? He-em, pancen ngono iku. Lha mula saka iku Miran ngrasa apa ora ( nging nyatane ngrasa) yen sejatine pancen pait, malah pait kaya bratawali utawa woh mahoni kae. Lha ya merga saka iku dheweke ngrasa kudu nyerotambegane landhung-landhung ben bisa tabah utawa yen prelu bisa tatag njawab pitakone Susi sing nyenggol bab sekolahe iku.
“ Aku cetha mandheg, Sus” kandhane Miran. Kapeksa mung iku sing bisa dikandhakake marang Susi, nadyan sayektine isih ana teruse. Yaiku sing magepokan karo sesambungan katresnane. Sing kanggone Miran kok kaya wis ngalamati pait. Ya, nging iku kapeksa dicandhet utawa mung sengaja disimpen ngono wae sing nganti Susi mengkone ndilalah gelem miwiti mbukak. Katitik dheweke pancen mung wis kandha sing isine kaya ing ndhuwur iku mau wae.
“ Aku kepengin nerusake, Ran. Nging…….?” Susi kaya kangelan nggone arep kandha.
“ Nging …yagene, Sus? Apa wong tuwamu ora entuk?” pitakone Miran nyoba mbedhek pikirane Susi.
“ Ora, Ran, ora! Aku malah bingung karo karepe wong tuwaku iku”.
“ Lha kok ngono?” pitakone Miran sing jebule malah kaya digelani, jalaran kok ya lancing men kuwi lho, iku rak urusane Susi karo wong tuwane dhewe wae thok ta. Lha kok ditakokake? Ya iku sing mula setengah digelani mau. Nging wong wis kadhung keprucut, Miran ya arep apa? Kajaba mung nunggu ing sateruse mengko. Dene kok dijawab becik, rak ya mbungahake ta? ( wong sing dikarepake ya pancen iku?)
“ Karepe wong tuwaku iku ra keneng ora aku kudu nerusake sekolah. Kudu ! kudu dadi sarjana wadon wiwitan ing desane awake dhewe iki. Rak ya repot ta, Ran, wong aku iki sejatine …..?” ah, iki piye ta ya kok angel temen, arep kandha ngono wae kok angel.
“ Lho, Sus !” Miran nyrunthul njupuk kalodhangan iku kanggo mepetake Susi. “ Kowe rak pinter ta, apa angele dadi sarjana. Lha wong kowe ya disetarah wragad wae?”
Lha, kepethel tenan ta Susi. Piye arep njabut sikile yen wis ngene iki? Arepa Susi iku biyen sing miwiti nglayangi Miran, nging yen dina iki dheweke kok isih kudu miwiti maneh, rasane rak ya rada ora kepenak kae ta, lha wadon ki? Mula Susi kapeksa mikir rada dawa. Dina iki kepetel ya kepetel, nging aja jero-jero nemen. Utawa, yen kepeksane butuh tulungan, geret wae Miran, mesisan cikben kebleteg kabeh. Yen wong loro wis dha gupak kabeh, rak ora ana sing kudu ngaku menang utawa kalah ta? Ngono gagasane Susi. Nging sing paling enak kok sing paling kari iku. Mula ngene kandhene Susi marang Miran, sing sajak kaya wis menang-menanga iku.
“ Ora ngono ta, Ran” kandhane Susi wis nekad tenan. “ Kowe dhewe iku sejatine apa wis tegel tenan karo aku, ngono apa kok sajak mbleteg-mbletegake aku barang? Yen nganti aku klelep ngono, kowe pancen seneng ya? Karepe dhewe …!”
Miran kapeksa ngguyu cilik. “ Lho, kowe apa ya tega tenan karo aku, yen mengkone kowe nganti bisa nerusake solah. Apa maneh let sedhela njur dadi sarjana ayu tur wiwitan ing desane dhewe iki, Sus? Tega ya, wong aku ya mung ngene iki wae. Kandhaa saiki, Sus, aku tak nata atiku ben ora mati kendhat!”
Susi genten mesem, nging kaya ngece kae. “ Halah, Ran … Ran. Jebul kowe iku ya mung ngono iku wae. Ngono kok nganti kedawa-dawa. Wong lanang kok mengkono dhapure. Ra idhep isin!” kandhane Susi karo klewa-klewa kae.
“ Yen ngono terus piye, Sus?” pitakone Miran sing bodho iku.
“ Lha ya mbuh kowe dhewe iku, kok takon?”
Pait ! Ya, pait! Iku yen Miran gelem ngakoni. Lha yen ora ya karepe dhewe. Mengko rak gebes-gebes dhewe.
“ Sus. Aku tresna kowe. Mbesuk bojoku yak owe” kandhane Miran temenanan.
“ Tenan? Ngapusi ah!”
“ Sus!” Miran ora entha-entha. “ Apa janjimu yen kowe tresna aku?”
Wiwitane Susi isih geguyonan. Nging bareng didheseg terus wusanane keprucut uga janjine Susi marang Miran, ngene” Wis, Ran. Eling-elinga wae. Yen nganti aku bisa dadi bojone nguwong, mbuh sapaa wae wonge kathik dudu kowe. Aku mesthi bakal ngunggah-unggahi kowe seminggu sadurunge gawe. Dene yen seminggu sadurunge gawe kok aku ora teka, kowe aja gela. Jalaran iku bukti yen aku wis blenja. Lan merga saka iku uga aku lan janjiku ora prelu kok eling-eling maneh. Saiki ayo adu kuwat!”
Ngono wiwitane biyen.
Saiki wis beda. Ya, beda. Nadyan ora cengkah banget karo kahanan nalika semana. Bedane merga saiki iki Susi wis dadi sarjana. Sarjana ayu tur wiwitan ing desane. Siji maneh sing aja dilalekake. Anake wong sugih. Dadine ngene: sarjana wiwitan ing desane sing ayu tur anake wong sugih. He-em, lan ya iku bedane saiki iki!
Beda liyane maneh ngene. Yen biyen Susi mung pijer ngloyang-nglayangi Miran yen dhong kangen ngana kae. Saiki wis ora kathik nganggo layang maneh, kesuwen. Mara wae nyang omahe pisan, ben marem ngana kae. He-em. Pancen saiki iki malah kepara rada kerep. Susi – Miran seneng, nging wong tuwane cah loro iku sing senep. Lha kok ngono? Ra precaya ta.
Senepe wong tuwane Susi iku rak merga Susi digadhang-gadhang bisa entuka bojo sing sakpantarane, ya ayune ya sugihe ya pendhidhikane, rak ngono ta? Mosok kok mung oleh Miran, cah sing mung lulusan smta tur mlarat kathik ora cekel gawe apa-apa. Karo maneh ngapa sih Miran iku kathik wira-wiri nyangklong stopmap ireng iku? Anggepe aku gigrik apa? Ngono gagasane wong tuwane Susi. Mula nalika ngonangi jebul Susi kerep mra ing omahe Miran, wah, pisuhe ngudu bilahi kae. Ora mung iku. Pisuhe malah sengaja dieber-eberake ing dalan dalan pisan.
Lha senepe wong tuwane Miran ngene. Pidsn cetha. Wong kodhok kok arep nggayuh lintang, apa ra kuwalat mengko? Apa maneh kodhoke precil sing geringen kae. Apa ra saya moka kejaba mbilaheni? Iku sing sepisan. Dene pindhone, sapa sing ora mbediding karo omongane juragan sugih wong tuwane Susi iku? Sedhenga ora lagi nesu wae, saben wong mlarat wis ketar-ketir atine. Apa maneh yen wis kebacut muring, apa ora mati ngadeg yen nganti dipenthelengi?
Ya merga iku Miran kerep direh-reh utawa malah disrengeni dening wong tuwane.
“ Kowe iku mbok ya ngilo ta le…le ! Githokmu mbok ya disetitekna sing tenan. Sapa kowe iku lan sapa Susi iku? Kowe aja miring-mirangake wong tuwa ya, Le. Meka bojo sing huayu lan sugih tur sarjana pisan, sapa wae wonge, angger aja Susi ya, Le. Kowe nak kok kuwalat ya, Le. Aku iki isih kepengin nungkuli kowe lan nyawang seger kuwarasanmu, Ran…Ran. Pedhota wae Susi, saiki uga! Timbang kowe tak pedhot peksa, malah cilaka mengko” ngono wong tuwane lanang Miran nate meden-medeni Miran, sing atine wis nyicil perah-perih wae iku.
Apa maneh bareng saiki iki Susi dhewe sajake yaw is ra nate mara. Layang sasuwek wae ya ora. Terus iki kabeh apa maknane? Apa? Ah, Miran wis ngreti iku. Iku pait. Ya,pait !
Saya paitmaneh bareng Miran weruh bola-bali Susi lunga-lunga karo sawijining priya nggantheng. Ah, Miran wis ngira iku mesthi calon bojone Susi. Lan iku pait sing nganggo banget. Utawa kaya bratawali, utawa kaya woh mahoni. Sing Miran nganti blokekan ngrasakake.
AWAN sing panas. Srengenge kaya sengaja manggang-mangganga jagad. Angin sing seger kaya sengaja dicegat setan tengahing dalan. Mangka dhangiran jagung iku isih amba. Mangka kringete Miran wis mrenthul-mrenthul sakjagung-jagung kae gedhene. Mangka ambegane pisan yaw is kembang kempis. Mula njur piye apike? Eh, ngaso sik wae. Ngono pikirane Miran sing wis keselen nggone ndhangir jagunge.
Lagi lungguh sakcebrotan, jebul ana Tanto sing nguncluk mara. Miran nggumun dene adhine Susi kok prelu-prelune mara ing tegal iki ana setan ngendi wae sing nyurung sikile.
“ Lho, Dhik, arep nyang endi iki?” nadyan ngono Miran kober nyapa ndhisik.
“ Aku prelu ngaturake layang iki lho, Mas” ngono kandhane Tanto karo menehake layang saka Susi.” Nging aku nyuwun ngapura, ra isa suwe-suwe jalaran aku selak les. Aja kleru tampa ya, Mas. Aku nyuwun pamit”.
Karo rada dheg-dhegan, layang iku disuwek banjur diwaca isine. Bareng wis cetha, Miran ngguyu dhewe. Ora ngira babar pisan yen awan sing panas iki pranyata wis menehake angin liya sing nyegerake. He-em Miran bungah atine jalaran ora mung merga Susi pranyata isih tresna lan tetep setya thok wae, nging sing luwih mbungahake atine kuwi merga sarjana ayu tur sugih iku malah wis wani-wanine nantang kawinan. Yen ngono gampang, Sus. Gampang banget. Aku yaw is rampung nggonku kuliah jarak jauh ae kok. Tabunganku ing bank iku isih rong yuta. Yen isih kurang, pakku mbokku mosok arep tega karo aku. Wedhus telu arep kanggo sapa, wong aku anak ontang-anting? Mula gampang, Sus. Njaluk suk kapan,cah ayu? Saiki ? Aku ora kabotan! Ngono grenenge Miran dhewekan. Disekseni godhong-godhong jagung sing nglinthing merga kurang udan.
Miran ngadeg arep bali. Ra preduli dhangiran isih amba. Lakune gagah nadyan nyangklong pacul !
Hem, awake Miran krasa seger. Ana angin midid sing ngelus dhadhane.
Lha rak cetha ta. Ana pait, malah pait banget. Kaya bratawali, kaya woh mahoni. Sing nganti Miran blokekan. Nganti Miran ra wurunga ya bungah barang! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar